Suku Tolaki, Sulawesi
Tenggara
Suku Tolaki,
adalah suku yang berdiam di kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Utara,
Kolaka dan di kota-kota lain yang ada di Sulawesi Tenggara.
Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari keturunan orang-orang kerajaan ini lah yang menjadi masyarakat suku Tolaki sekarang.
Pada masa sebelum-sebelumnya orang Tolaki merupakan masyarakat yang nomaden, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, hidup dari hasil berburu dan mencari tempat baru untuk membuka ladang.
Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari daratan china, yaitu dari daerah Yunnan yang bermigrasi ke wilayah ini.
Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam (Burnahuddin, 1973:53)
Orang Tolaki pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa Tolaki yang berarti terdampar atau ikut pergi ke langit (Tarimana, 1985).
Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari keturunan orang-orang kerajaan ini lah yang menjadi masyarakat suku Tolaki sekarang.
Pada masa sebelum-sebelumnya orang Tolaki merupakan masyarakat yang nomaden, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, hidup dari hasil berburu dan mencari tempat baru untuk membuka ladang.
Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari daratan china, yaitu dari daerah Yunnan yang bermigrasi ke wilayah ini.
Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam (Burnahuddin, 1973:53)
Orang Tolaki pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa Tolaki yang berarti terdampar atau ikut pergi ke langit (Tarimana, 1985).
Orang Tolaki memiliki
beberapa budaya seni, yaitu:
Tarian
Tradisional
Tari Mondotambe |
- Tari Mondotambe
- Tari Lulo
- Tari Mekindohosi
- Tari Moana
Musik
Tradisional
Musik Bambu |
- Musik Bambu
Upacara adat yang populer dari suku Tolaki adalah
Upacara Adat Mosehe, yang merupakan salah satu bentuk upacara ritual yang
bertujuan untuk menolak datangnya malapetaka karena telah melakukan pelanggaran
baik sengaja maupun tidak sengaja.
Mayoritas suku Tolaki adalah pemeluk agama Islam.
Agama Islam berkembang di wilayah ini sejak beberapa abad yang lalu. Masyarakat
Tolaki adalah pemeluk agama Islam yang taat.
Orang Tolaki berbicara dalam bahasa Tolaki. Bahasa
Tolaki merupakan cabang dari bahasa Austronesia, dan masih berkerabat dengan
bahasa Mekongga. Budaya dan bahasa Tolaki memiliki banyak persamaan dengan
budaya dan bahasa Mekongga. Kemungkinan antara suku Tolaki dan suku Mekongga
masih terdapat kekerabatan dari sejarah asal-usul di masa lalu.
Masyarakat suku Tolaki pada umumnya bertahan hidup
dengan berladang dan bersawah. Kebutuhan akan air sangat tinggi, untuk
kelangsungan pertanian mereka. Kehadiran sungai Konawe sangat membantu
pertanian mereka. Sungai Konawe membelah daerah ini dari barat ke selatan
menuju selat Kendari.
Di luar kegiatan bertani, mereka juga memanfaatkan
hasil hutan untuk mencari sagu. Sagu (sinonggi atau papeda) menjadi makanan
favorit orang Tolaki selain beras. Selain itu batang sagu juga dijadikan tikar
dan daunnya dimanfaatkan untuk atap rumah. Sayangnya sagu ini hanya diperoleh
dari alam dan belum dibudidayakan. Selain itu mereka juga memiliki
kebiasaan menangkap ayam hutan dengan alat kati
Gambaran Umum Masyarakat Tolaki
Suku Tolaki, merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Provinsi
Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna. Suku Tolaki mendiami
beberapa wilayah Kabupaten dan Kota yakni Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kabupaten
Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten Kolaka dimana kedua
Kabupaten induk tersebut berdiam dua ednis Suku Tolaki yang terbesar yakni Suku
Tolaki Mekongga dan Suku Tolaki Konawe.
Menurut Tarimana,R (1993) pada mulanya orang Tolaki merupakan migrasi
dari Tanah Cina, pada awal pelayaran mereka singgah di Kepulauan Filipina
kemudian berlanjut singgah pada pesisir Pulau Sulawesi yakni Manado selanjutnya
mereka berpaling menuju pada Kepulauan Halmahera, dari kepulauan inilah
kemudian berlanjut memasuki pesisir tenggara Pulau Sulawesi, ada juga beberapa
pendapat yang mengatakan behwa Suku Tolaki berasal dari masyarakat Pulau Jawa
yang melakukan pelayaran singgah pada Pulau Buton kemudian baru masuk pada
pesisir tenggara daratan Pulau Sulawesi.
Kedatangan muasal
Suku Tolaki mereka kemudian menyusuri sungai dari arah muara sungai Lasolo dan
muara sungai Konawe sampai bertemu pada kedua hulu sungai tersebut yakni
disekitar Pegunungan Tangkelaboke. Dari pertemuan tersebut kemudian
mereka membentuk suatu perkampungan yang daerahnya dinamai dengan Andolaki,
dari Andolaki inilah mereka menyebar pada beberapa daerah di Sulawesi
Tenggara ini.
Pada mula kedatangan muasal masyarakat Tolaki mereka membentuk suatu
koloni di sekitar sungai yang berada pada lembah (angalo) yang diangap
subur oleh mereka rumah-rumah mereka terpusat pada para prajuri/kesatria (Tamalaki)
sebagai pelindung dari ancaman, dari koloni ini membentuk beberapa koloni,
sehingga menjadi koloni sedang/kampung (onapo) yang dipimpin oleh kepala
suku/orang tua (Tonomotuo) dalam perkembangannya terbentuklah beberapa
kampung yang membentuk Distrik/setingkat Kecamatan (O Tobu) yang
dikepalai oleh Putobu. Dikarenakan akan pertumbuhan yang semakin pesat
maka terbentuklah berbagai distrik-distrik lainnya yang membentuk suatu tatanan
wilayah masyarakat Tolaki yang disebut Wonua (setingkat Kabupaten) yang
dipimpin oleh seorang Raja (Mokole)
Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang
dari langit) hal ini mungkin dikarenakan mereka berasal dari daratan yang
tinggi/Pegunungan Tangkelaboke (asumsi). Menurut Tarimana, R (1993),
mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal
dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan; 1973, yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya,
ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti
“langit“ dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut dari langit”.
Pada pemaparan diatas asal-usul budaya dan peradaban Tolaki tampaknya
lebih mudah diterima jika dikaitkan dengan pola migrasi noe-litikum. Selain
asal-usulnya, hal yang sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan
raja-raja, dalam legenda rakyat terdapat dua kerajaan lokal yang besar (Konawe
dan Mekongga). Menurut tradisi tutur, raja Sangia Ngginoburu (Konawe)
dan raja Sangia Nibandera (Mekongga) diperkirakan memerintah pada saat
Islam telah diterima (Tarimana, R; 1993).
Tinjauan Rekonstruksi Arsitektur Tolaki
Ciri dan budaya arsitektur Tolaki masih dalam penelusuran
namun dalam perkembangannya ciri dan budaya arsitektur Tolaki terletak pada
rumah adat orang Tolaki itu sendiri. Berdasarkan pemaparan Ir. Sachrul
Ramadhan. MT (2004) dalam Seminar Penelusuran Arsitektur Tradisional
Tolaki membagi pendapat beberapa ahli seperti Cohen, A. P (1985) yang berpendapat
bahwa dalam masyarakat tradisional, sering kali dipandang bahwa rumah merupakan
wujud microcosmos dari keseluruhan alam semesta. Setiap unsur yang membentuk
rumah, melambangkan unsur-unsur tertentu dari alam semesta. Lain halnya dengan
Yudohusodo (1991) berpendapat bahwa rumah dipandang tidak sekedar house atau
shelter, melainkan rumah dipandang memiliki makna spiritual. Secara lebih
terperinci lagi Habraken (1978) menyatakan bahwa rumah merupakan suatu kesatuan
sistem yang terdiri dari:
a. Spacial System, kesatuan sistem yang berkaitan dengan organisasi ruang, mencakup fungsi ruang, hubungan ruang, hirarki ruang, pola sirkulasi, dan lain sebagainya.
b. Phisical System, sistem yang berkaitan dengan konstruksi dan penggunaan material.
c. Stylistic System, Kesatuan elemen bangunan yang mewarnai bentuk, meliputi komponen pembentuk bidang vertikal dan horizontal, perlengkapan bangunan dan ragam hias.
Kebudayaan merupakan aspirasi masyarakat mengenai hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar, manusia dengan alam gaib yang mencerminkan peningkatan pengetahuan dan peradaban masing-masing masyarakat yang melakoninya hal ini muncul karena adanya keinginan akan penyampaian keberadaan mereka di alam ini.
Rumah tradisional ataupun rumah adat adalah sebuah bangunan yang dibuat berdasarkan tradisi turun temurun dari suatu daerah memiliki makna spiritual dan juga sebagai simbol yang mencerminkan jati diri penghuninya. Adapun Simbol-simbol yang biasa diungkapkan oleh manusia sebagai ungkapan jati dirinya adalah yaitu :
a. Simbol Konstitutif (agama dan kepercayaan)
b. Simbol Kognitif ( ilmu pengetahuan)
c. Simbol Evaluatif ( moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan)
d. Simbol Ekspresif (pengungkapan perasaan)
Dalam masyarakat tradisional, seringkali dipandang bahwa rumah merupakan wujud microcosmos dari keseluruhan alam semesta. Setiap unsur yang membentuk rumah, melambangkan unsur-unsur tertentu dari alam semesta. Adapun sebagai fungsi dari rumah tradisional yang biasanya di pergunakan sebagai rumah tempat tinggal bagi masyarakat umum maka pada rumah adat bangunan ini hanya diperguanakan oleh golongan bangsawan dan pemuka adat dan juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan acara adat pada suatu daerah tersebut.
Dalam Arsitektur masyarakat Tolaki, Komali (rumah/istana raja) dikenal sebagai rumah adat Tolaki atau Laika (rumah tempat orang tinggal). Namun antar rumah raja dan rumah rakyat yang membedakan adalah besar dan luasnya saja dimana rumah raja berukuran 40 depa sementara rumah rakyat minimal 3 depa. Rumah hanya salah satu dari beberapa shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki, yaitu sebagai:
a. Tempat berlindung sementara (pineworu).
b. Tempat berlindung yang dipindah-pindahkan (payu).
c. Dangau (patande).
d. Lumbung (o ala).
Dari hasil studi arsitektural dan etnografi, yang menjadi core elemen dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan diperkuat balok lintang (powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran tiang ini terdapat satu tiang utama yang disebut dengan tiang petumbu yang terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini.
Rumah Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa), tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tinggi tiang dari permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa masuk dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar tiang dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan suatu jumlah yang disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun sirih. Jadi perwujudan ini diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah. Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah 40 tiang merupakan jumlah tiang yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh tokoh tertinggi adat (Mokole).
Kesembilan tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan symbol dari Siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat dari Siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa tiang petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya diikuti oleh upacara ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna memohon kepada Tuhan agar seisi rumah yang menempati rumah ini dapat terhindar dari berbagai bahaya yang datang dari delapan penjuru mata angin.
Secara garis besar rumah tradisional Tolaki memanisfestasikan ciri tersendiri dari arsitekturnya, seperti yang dijelaskan berikut ini:
a. Konfigurasi Ruang
Rumah adat Tolaki berbentuk rumah panggung yang secara vertikal terdiri atas Kolong, Badan Rumah dan Loteng. Dan secara horizontal selalu terdapat ruang Bontono (badan rumah), Tinumba kiri dan kanan serta Tinumba muka dan belakang. Tinumba kiri dan kanan selalu memanjang sepanjang Bontono. Tinumba muka dan belakang bentuknya variatif namun kedua ruang ini selalu ada. Begitu pula dapur yang selalu ada pada bagian belakang ( rumah Toonomotuo). Jika dianalisis dari dua sisi maka rumah ini selalu tersusun atas tiga bagian ruang, yaitu Muka (tinumba Depan), Tengah (induk rumah) dan belakang (Tinumba belakang dan dapur). Jika dilihat dari arah Utara dan Selatan serta arah Timur dan Barat maka ruang utama berjajar tiga yaitu Tinumba kanan, Botono (induk rumah) dan Tinumba kiri. Organisasi ruang seperti ini serupa dengan konfigurasi “Kalo” . Kalo terdiri atas tiga bagian bentuk, maka interpretasi untuk susunan ruang adalah mengacu pada jumlah susunan Kalo. Namun secara horizontal tidak mengejawantahkan makna Kalo. Karena makna lingkaran adalah makna tertinggi dari dua bentuk yang mendampinginya.
Jika dianalisisi secara vertikal pada lantai satu rumah, maka bagian induk rumah (botono, tinumba kiri dan kanan) mempunyai nilai ruang yang paling tinggi, karena bagian ini mempunyai lantai yang tertinggi dibanding dengan ruang tinumba depan dan belakang.
Konvigurasi ruang secara vertikal juga mempunyai hirarki ruang yang sama. Analisis dari fungsinya terkait erat dengan makna yang terkandung dalam Kalo. Dijelaskan oleh Rauf (1993) bahwa Kalo merupakan manifestasi dari bentuk tubuh manusia, yaitu kepala (lingkaran), badan (kain putih) dan kaki (anyaman segi empat). Juga manifestasi dari makrokosmos, yaitu: dunia atas (lingkaran), dunia tengah (kain putih) dan duania bawah (anyaman segi empat).
b. Bentuk Fasad
Fasad dari depan mempunyai bentuk simetris. Dari kaidah arsitektur bentuk simetris berkaitan dengan bentuk formil, sedangkan asimetris terkait dengan makna dinamis. Makna ini terkait dengan sifat masyarakat Tolaki yang dinamis dan formil. Disamping makna formil dan dinamis, pada konfigurasi bentuk fasad terkandung juga makna Kalo hal ini jika dikaitkan dengan teori Ching. D.K. dalam teori tersebut diungkapkan bahwa unsur segi tiga merupakan bentuk yang menunjukkan kedimasisan dan keformalan. Simbol keagungan dan kesempurnaan diapresiasikan juga pada fasad bagian memanjang yaitu pada bagian bubungan atap dibuat melengkung. Ekspresi demikian adalah ungkapan dari bentuk lingkaran yang menyimbolkan lingkaran pada Kalo. Lingkaran mengungkapkan makna kesucian, dunia atas (lahuene) dan fungsi pada bagian loteng yang dinaungi oleh atap pada rumah ini adalah sebagai tempat anak gadis dan benda-benda berharga atau pusaka dan tempat sesaji. Jadi fungsi ruang yang disakralkan dimanifestasikan dengan atap yang melengkung dan bentuk segitiga.
c. Ragam Hias
Pada bagian ujung atap terdapat ragam hias tanduk kerbau. Menurut masyarakat Tolaki kerbau adalah hewan yang berhubungan dengan kemakmuran. Ragam hias ini hanya terdapat pada rumah para kepala kampung (Toonomotuo) atau yang sederajat. Jadi symbol kepala kerbau jika dikaitkan dengan maknanya maka symbol ini masuk dalam kategori symbol ekspresif (ungkapan perasaan).
Selain tanduk kerbau, pada bagian bubungan atap terdapat dua segitiga yang saling terbalik. Hal ini menyimbolkan bahwa masyarakat Tolaki menjunjung tinggi kekerabatan yang menganut asas kindred dan ambilinleali. Hal ini pula yang sangat sangat mempengaruhi luasan. Rumah tradisional masyarakat Tolaki cenderung tidak menggunakan sekat-sekat pemisah yang nyata guna mendapatkan area yang luas. Karena ruang secara keseluruhan di lantai satu sering digunakan sebagai tempat bersosialisasi antar keluarga.
a. Spacial System, kesatuan sistem yang berkaitan dengan organisasi ruang, mencakup fungsi ruang, hubungan ruang, hirarki ruang, pola sirkulasi, dan lain sebagainya.
b. Phisical System, sistem yang berkaitan dengan konstruksi dan penggunaan material.
c. Stylistic System, Kesatuan elemen bangunan yang mewarnai bentuk, meliputi komponen pembentuk bidang vertikal dan horizontal, perlengkapan bangunan dan ragam hias.
Kebudayaan merupakan aspirasi masyarakat mengenai hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar, manusia dengan alam gaib yang mencerminkan peningkatan pengetahuan dan peradaban masing-masing masyarakat yang melakoninya hal ini muncul karena adanya keinginan akan penyampaian keberadaan mereka di alam ini.
Rumah tradisional ataupun rumah adat adalah sebuah bangunan yang dibuat berdasarkan tradisi turun temurun dari suatu daerah memiliki makna spiritual dan juga sebagai simbol yang mencerminkan jati diri penghuninya. Adapun Simbol-simbol yang biasa diungkapkan oleh manusia sebagai ungkapan jati dirinya adalah yaitu :
a. Simbol Konstitutif (agama dan kepercayaan)
b. Simbol Kognitif ( ilmu pengetahuan)
c. Simbol Evaluatif ( moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan)
d. Simbol Ekspresif (pengungkapan perasaan)
Dalam masyarakat tradisional, seringkali dipandang bahwa rumah merupakan wujud microcosmos dari keseluruhan alam semesta. Setiap unsur yang membentuk rumah, melambangkan unsur-unsur tertentu dari alam semesta. Adapun sebagai fungsi dari rumah tradisional yang biasanya di pergunakan sebagai rumah tempat tinggal bagi masyarakat umum maka pada rumah adat bangunan ini hanya diperguanakan oleh golongan bangsawan dan pemuka adat dan juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan acara adat pada suatu daerah tersebut.
Dalam Arsitektur masyarakat Tolaki, Komali (rumah/istana raja) dikenal sebagai rumah adat Tolaki atau Laika (rumah tempat orang tinggal). Namun antar rumah raja dan rumah rakyat yang membedakan adalah besar dan luasnya saja dimana rumah raja berukuran 40 depa sementara rumah rakyat minimal 3 depa. Rumah hanya salah satu dari beberapa shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki, yaitu sebagai:
a. Tempat berlindung sementara (pineworu).
b. Tempat berlindung yang dipindah-pindahkan (payu).
c. Dangau (patande).
d. Lumbung (o ala).
Dari hasil studi arsitektural dan etnografi, yang menjadi core elemen dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan diperkuat balok lintang (powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran tiang ini terdapat satu tiang utama yang disebut dengan tiang petumbu yang terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini.
Rumah Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa), tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tinggi tiang dari permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa masuk dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar tiang dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan suatu jumlah yang disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun sirih. Jadi perwujudan ini diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah. Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah 40 tiang merupakan jumlah tiang yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh tokoh tertinggi adat (Mokole).
Kesembilan tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan symbol dari Siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat dari Siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa tiang petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya diikuti oleh upacara ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna memohon kepada Tuhan agar seisi rumah yang menempati rumah ini dapat terhindar dari berbagai bahaya yang datang dari delapan penjuru mata angin.
Secara garis besar rumah tradisional Tolaki memanisfestasikan ciri tersendiri dari arsitekturnya, seperti yang dijelaskan berikut ini:
a. Konfigurasi Ruang
Rumah adat Tolaki berbentuk rumah panggung yang secara vertikal terdiri atas Kolong, Badan Rumah dan Loteng. Dan secara horizontal selalu terdapat ruang Bontono (badan rumah), Tinumba kiri dan kanan serta Tinumba muka dan belakang. Tinumba kiri dan kanan selalu memanjang sepanjang Bontono. Tinumba muka dan belakang bentuknya variatif namun kedua ruang ini selalu ada. Begitu pula dapur yang selalu ada pada bagian belakang ( rumah Toonomotuo). Jika dianalisis dari dua sisi maka rumah ini selalu tersusun atas tiga bagian ruang, yaitu Muka (tinumba Depan), Tengah (induk rumah) dan belakang (Tinumba belakang dan dapur). Jika dilihat dari arah Utara dan Selatan serta arah Timur dan Barat maka ruang utama berjajar tiga yaitu Tinumba kanan, Botono (induk rumah) dan Tinumba kiri. Organisasi ruang seperti ini serupa dengan konfigurasi “Kalo” . Kalo terdiri atas tiga bagian bentuk, maka interpretasi untuk susunan ruang adalah mengacu pada jumlah susunan Kalo. Namun secara horizontal tidak mengejawantahkan makna Kalo. Karena makna lingkaran adalah makna tertinggi dari dua bentuk yang mendampinginya.
Jika dianalisisi secara vertikal pada lantai satu rumah, maka bagian induk rumah (botono, tinumba kiri dan kanan) mempunyai nilai ruang yang paling tinggi, karena bagian ini mempunyai lantai yang tertinggi dibanding dengan ruang tinumba depan dan belakang.
Konvigurasi ruang secara vertikal juga mempunyai hirarki ruang yang sama. Analisis dari fungsinya terkait erat dengan makna yang terkandung dalam Kalo. Dijelaskan oleh Rauf (1993) bahwa Kalo merupakan manifestasi dari bentuk tubuh manusia, yaitu kepala (lingkaran), badan (kain putih) dan kaki (anyaman segi empat). Juga manifestasi dari makrokosmos, yaitu: dunia atas (lingkaran), dunia tengah (kain putih) dan duania bawah (anyaman segi empat).
b. Bentuk Fasad
Fasad dari depan mempunyai bentuk simetris. Dari kaidah arsitektur bentuk simetris berkaitan dengan bentuk formil, sedangkan asimetris terkait dengan makna dinamis. Makna ini terkait dengan sifat masyarakat Tolaki yang dinamis dan formil. Disamping makna formil dan dinamis, pada konfigurasi bentuk fasad terkandung juga makna Kalo hal ini jika dikaitkan dengan teori Ching. D.K. dalam teori tersebut diungkapkan bahwa unsur segi tiga merupakan bentuk yang menunjukkan kedimasisan dan keformalan. Simbol keagungan dan kesempurnaan diapresiasikan juga pada fasad bagian memanjang yaitu pada bagian bubungan atap dibuat melengkung. Ekspresi demikian adalah ungkapan dari bentuk lingkaran yang menyimbolkan lingkaran pada Kalo. Lingkaran mengungkapkan makna kesucian, dunia atas (lahuene) dan fungsi pada bagian loteng yang dinaungi oleh atap pada rumah ini adalah sebagai tempat anak gadis dan benda-benda berharga atau pusaka dan tempat sesaji. Jadi fungsi ruang yang disakralkan dimanifestasikan dengan atap yang melengkung dan bentuk segitiga.
c. Ragam Hias
Pada bagian ujung atap terdapat ragam hias tanduk kerbau. Menurut masyarakat Tolaki kerbau adalah hewan yang berhubungan dengan kemakmuran. Ragam hias ini hanya terdapat pada rumah para kepala kampung (Toonomotuo) atau yang sederajat. Jadi symbol kepala kerbau jika dikaitkan dengan maknanya maka symbol ini masuk dalam kategori symbol ekspresif (ungkapan perasaan).
Selain tanduk kerbau, pada bagian bubungan atap terdapat dua segitiga yang saling terbalik. Hal ini menyimbolkan bahwa masyarakat Tolaki menjunjung tinggi kekerabatan yang menganut asas kindred dan ambilinleali. Hal ini pula yang sangat sangat mempengaruhi luasan. Rumah tradisional masyarakat Tolaki cenderung tidak menggunakan sekat-sekat pemisah yang nyata guna mendapatkan area yang luas. Karena ruang secara keseluruhan di lantai satu sering digunakan sebagai tempat bersosialisasi antar keluarga.
Secara garis besar disimpulkan oleh Ir. Sachrul Ramadhan. MT (2004) dalam Seminar dan Lokakarya Arsitektur Tolaki adalah:
Ø
Bentuk rumah adalah rumah panggung yang memanifestasikan dari simbol kosmis yaitu lahuene, wutaaha dan puriwuta.
Unsur utama dalam rumah adat Tolaki adalah sembilan jajar tiang, merupakan
Bentuk rumah adalah rumah panggung yang memanifestasikan dari simbol kosmis yaitu lahuene, wutaaha dan puriwuta.
Unsur utama dalam rumah adat Tolaki adalah sembilan jajar tiang, merupakan
Ø manifestasi dari siwolembatohu, yaitu empat penjuru
mataangin, dimana pusatnya adalah tiang yang
pertama kali dibangun saat akan mendirikan rumah bernama petumbu.
Ø Pengembangan rumah adat berdasarkan akses dari rumah inti
(siwolembatohu), dan penambahan tersebut diberinama
tinumba yang terletak di ke-empat sisi rumah inti.
Ø Masukan dari hasil seminar bahwa rumah adat terdiri atas
40 tiang (diluar dapur) yang mencerminkan dari 40
sirih dan 40 pinang yang diantar ketika akan berlangsung upacara
perkawinan.
Ø Bagian bubungan atap :
1) mempunyai bentuk yang melengkung bukan bidang patahan. Hal ini merupakan cerminan aktivitas yang ada dibawah atap juga merupakan cerminan dari bentuk lingkaran pada Kalo yang mempunyai hirarki yang tertinggi diantara semua bentuk yang diwujudkan dalam konfiguarsi Kalo
2) Bentuk lengkung adalah simbol dari tanduk kerbau
3) Bentuk lengkung adopsi dari bentuk atap klenteng, merupakan kenangan terhadap leluhur orang Tolaki yang berasal dari cina
1) mempunyai bentuk yang melengkung bukan bidang patahan. Hal ini merupakan cerminan aktivitas yang ada dibawah atap juga merupakan cerminan dari bentuk lingkaran pada Kalo yang mempunyai hirarki yang tertinggi diantara semua bentuk yang diwujudkan dalam konfiguarsi Kalo
2) Bentuk lengkung adalah simbol dari tanduk kerbau
3) Bentuk lengkung adopsi dari bentuk atap klenteng, merupakan kenangan terhadap leluhur orang Tolaki yang berasal dari cina
Ø Dapur terpisah dengan rumah induk, terdapat
pada bagian belakang rumah adat dan dihubungkan
dengan selasar.
Ø Ragam hias yang menjadi ornamentasi adalah tanduk
kerbau pada bubungan, ukiran kepala
pakis pada jurai bagian ujung rumah.
Secara geris besar kajian diatas dalam desai Kantor Bupati Konawe Utara dengan pendekatan Arsitektur Tolaki maksudnya adalah bangunan yang digunakan untuk tujuan propessional ataupun administrasi menampilkan ciri budaya arsitektur setempat dengan maksud dapat memberikan jati diri, sebagai aspirasi pemerintah mengenai hubungan pemerintah dengan masyarakat yang mencerminkan peningkatan pelayanan dan pengabdian kepada bangsa dan negara.
Secara geris besar kajian diatas dalam desai Kantor Bupati Konawe Utara dengan pendekatan Arsitektur Tolaki maksudnya adalah bangunan yang digunakan untuk tujuan propessional ataupun administrasi menampilkan ciri budaya arsitektur setempat dengan maksud dapat memberikan jati diri, sebagai aspirasi pemerintah mengenai hubungan pemerintah dengan masyarakat yang mencerminkan peningkatan pelayanan dan pengabdian kepada bangsa dan negara.
Tari Lulo
Tarian Molulo atau Lulo
(dari Bahasa Tolaki:
Molulo), merupakan salah satu jenis kesenian
tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara,
Indonesia. Di Kendari
(Sulawesi Tenggara – Indonesia) terdapat beberapa suku. Suku Tolaki
sebagai salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian
tradisional , salah satu tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan
hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut tarian Lulo.
Pada zaman dulu,
tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti : pernikahan, pesta
panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul
yaitu gong.
Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling
berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah
lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda
ukuran dan jenis suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong
sebagai alat musik pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat musik
modern yaitu “Electone”.
Filosofi
Tarian
Adapun filosofi
tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku
Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali
persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan
membentuk sebuah lingkaran.
Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa saja boleh
turut serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda
bukan suku Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang
penting adalah bisa mengikuti gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah posisi tangan
saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang
tangan wanita. Posisi tangan ini merupakan simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan.
Yang terpenting dari
semua itu adalah arti dari tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa
masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan
persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya. Seperti filosofi
masyarakat Tolaki yang diungkapkan dalam bentuk pepatah samaturu, medulu
ronga mepokoaso, yang berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya
masing-masing selalu bersatu, bekerja sama, saling tolong–menolong dan
bantu-membantu.
Perkembangan
Tetapi saat ini
tarian lulo telah mengalami proses adaptasi terutama dalam hal variasi gerakan
dan juga musik yang mengiringinya, jika dahulu masyarakat suku Tolaki
menggunakan alat musik pukul yang dikenal dengan sebutan “Gong” saat ini telah
menggunakan alat musik elektronik
yaitu organ tunggal (electone) begitu juga dengan variasi gerakannya, mulai
dari lulo dengan gerakan lambat (santai) sampai gerakan yang cepat.
JENIS RUMAH ADAT
TOLAKI
Rumah Adat Tolaki, Sulawesi Tenggara |
Jenis-jenis tempat
berlindung dan tempat tinggal telah banyak mendapat perhatian dari para
antropolog. Aneka bentuk perlindungan telah teridentifikasi dalam bentuk
literatur antropologi beteckning. Hasil identifiksi tersebut menunjukan bahwa,
tempat tinggal/berlindung yang terbuat dari kayu, bambo serat, jerami serta
kulit kayu dapat dijumpai disetiap benua. Rumah yang terbuat dari tanah liat
dapat dijumpai di daerah-daerah yang sangat kering sekali dengan curah hujan
sangat rendah (afrika).
Secara antropologis,
bentuk rumah manusia dikelompokan ke dalam tiga jenis, yaitu: rumah yang
setengah dibawah tanah (semi-subterranian dwelling), rumah diatas tanah
(suface dwelling), rumah diatas tiang (pile dwelling). Dari sudut
penggunaannya, tempat berlindung dibagi tiga golongan, yaitua: tadah angin,
tenda atau gubuk yang bisa dilepas, dibawa dan dipasang lagi; serta rumah untuk
menetap. Rumah untuk menetap memiliki beberapa fungsi sosial. Diantaranya rumah
tempat tinggal keluarga inti, tempat tinggal keluarga besar, rumah suci, rumah
pemujaan, rumah tempat berkumpul umum serta rumah pertahanan.
Secara universal
rumah tinggal dikalangan suku bangsa Tolaki disebut Laika (Konawe) dan
Raha (Mekongga), yang berarti rumah ada juga istilah yang menunjukan rumag
seperti poiaha. Pada masa lalu laika pada orang Tolaki masih
dikenal oleh beberapa daerah ini dapat ditelusuri dari toponimi daerah seperti
Desa Laikaaha Kecamatan Ranomeeto Konawe Selatan di daerah ini pernah berdiri laika
aha atau rumah induk yaitu rumanya penguasa Kerajaan Konawe daerah sebelah
barat Tambo tepuliano Oleo Kerajaan Konawe yaitu Sorumba bekas rumah
tersebut masih dapat kita saksikan secraa arkeologis. Terdapat juga nama daerah
yang menggunakan nama Desa Laikaaha terletal di Kecamatan Uepai Kabupaten
Konawe Sekarang hal ini sesuai sumber yang diungkapkan oleh Paul und Frederic
Sarasin (1904) yang merupakan rumah kepala adat atau kepala suku (Pu’u tobu).
Bentuk tipologi rumah adat juga pernah berdiri di daerah Wawonggole yang
dikenal dengan laika sorume. Pada paruh tahun 1904-1960an di daerah ini
masih kita jumpai rumah-rumah penguasa seperti laika Kataba salah satunya Kataba
Pu’u tobu Tongauna, Kataba Sembe Benua, dll. Rumah tinggal
ini ada beberapa jenis yang dapat dijelaskan sbb:
a. “Laika Mbu’u” (rumah induk atau rumamh
pokok)
Laika mbu’u (di
konawe), laika raha (di mekongga/kolaka), artinya rumah pkok. Disebut demikian
karena bentuknya lebih besar daripada rumah biasa. Rumah semacam ini didirikan
dipinggir kebun atau ladang menjelanga akan dimulainya panen dan biasanya
ditempati oleh beberapa keluarga.
b. Rumah
di kebun “Laika Landa”
Laikan landa, yakni
jenis rumah tinggal yang didirikan ditengah-tengah atau dipinggir kebun dan
didiami oleh satu keluarga. Rumah ini ditempati selama proses pengolaan kebun
sampai selesai. Setelah selesai panen dan padi sudah selesai disimpan dilumbung
padi (o’ala), rumah ini biasanya ditinggalkan jadi laika ini bukan
tempat tinggal permanen.
c. Patande
Laika patande adalah
jenis rumah yang didirikan titengah-tengah kebun sebagai tempat istirahat.
Bentuk konstruksi bangunannya lebih kecil daripada laika landa di atas.
d. Laika kataba
Laika kataba adalah
jenis rumah papan. Bahan-bahannya terdiri dari balok dan papan. Rumah ini
didirikan dengan memakai sandi atau kode tertentu, jenis rumah ini masih kita
temukan di daerah kabupaten konawe di kelurahan lawulo, kecamatan anggaberi
yang dibangun oleh Dr. H. Takahasi Rahmani, M.Ph.
e. Rumah penguburan (Laika sorongga atau laika
nggoburu)
Laika sorongga atau
laika nggoburu yaitu rumah makam bagi raja (mokole/sangia) pada masa
laludi kerjaan konawe atau rumah makam bagi keluarga raja, pada rumah tersebut
tinggal beberapa rumah tangga budaknya untuk menjaga makam tersebut yang di
dalamnya terdapat soronga. Pada masa lalu rumah soronga atau laika nggoburu
terdapat didaerah meraka wilayah Kecamatan Lambuya sekarang.
f. Rumah
Pengayauan “Laika Mborasaa”
Laika Mborasaa,
adalaha jenis rumah yang didirikan pada suatu tempat sebagai tempat penjagaan
dan sebagai tempat istirahat bagi orang-orang yang telah melaksanakan tugas
mengayau (penggal kepala) ke beberpa tempat di daerah sulawesi tenggara. Pada
zaman dahulu pra pemerintahan Belanda, rumah ini sering menjadi sasaran para
penjahat untuk merampok orang-orang yang hendak lewat istirahat di laika mborasa’a
untuk istirahat. Jenis rumah ini hanya satu buah yaitu bertempat di lalondae
(kabupaten kolaka sekarang), jenis rumah ini sudah tidak ditemukan lagi.
g. Rumah
tempat tinggal Raja “Komali”
Komali adalah jenis laika
owose (rumah besar), khusus untuk tempat tinggal Raja. Rumah semacam ini
tinggi dan kuat. Bahan-bahannya tetrdiri dari kayu, bambu dan atapnya terbuat
dari rumbia. Pada bagian tertentu rumah ini ditemukan ukiran (pinati-pati).
h. Laika wuta
Laika wuta adalah
jenis rumah tempat tinggal yang lebih kecil dari laika landa. Bentuk atapnya
seperti rumah jengki.
i. Raha Bokeo
rumah Raja di daerah Mekongga Kolaka
Raha bokeo (di
kolaka), adalah jenis rumah tempat tinggal raja-raja (bokeo) Mekongga di
Kolaka, ukurannya besar jumlah tiangnya 70 buah, yang terdiri rumah induk 25
tiang, ruang tambahan (tinumba) atau ancangan 20 tiang (otusa),
teras depan (galamba) 10 tiang dan dapur (ambolu) 15 tiang.
Sedangkan raha bokeo untuk ukuran sedang jumlah tiangnya 27 buah, yang terdiri
dari rumah induk 9 tiang, ruang tambahan (tinumba) 6 tiang, teras depan
(galamba) 3 tiang dan dapur 9 tiang.
j. O’ala
(tempat penyimpanan padi)
O’ala yaitu
jenis rumah penyimpanan. Yang dimaksud rumah penyimpanan adalah segala bangunan
yang dipergunakan untuk tempat menyimpan benda-benda keperluan hidup. Bangunan
ini antara lain adalah tempat menyimpan padi yang disebut o’ala (ala mbae)
berarti lumbung padi.
k. Laika
walanda (rumah panjang gaya arsitek Belanda)
Laika walanda adalah
jenis rumah panjang. Laika walanda juga dikenal dengan rumamh pesangrahan yaitu
rumah yang biasanya digunaka oleh orang-orang Belanda untuk bersantai seperti
berdansa ataupun pesta. Pada ruang tengah sepanjang rumah ini ada runag kosong,
sedang dibagian kiri dan kanan terdapat ruang istirahat yang lantainya setinggi
pinggang dan berpetak-petak. Model rumah ini seperti asrama memanjanng.
L. Laika mbondapo’a
Laika mbondapo’a adalah
jenis rumah panggung tempat memanggang kopra. Bentuknya seperti rumamh jengki
yang tidak memiliki diding (orini). Lantainya lebih agak tinggi dari dasar
tanah. Pada saat pemakaiannya, panggung ini diselubungi daun kelapa sambil
memberi pengapian dibawahnya.
Rumah tinggal suku
Tolaki adalah rumah panggung yang berbentuk persegi empat panjang. Karena pada
masa lalu belum dikenal ukuran meter, maka pembuatan rumah diukur dengan depa,
misalnya 5 x 7depa dan seterusnya.
Sumber bacaan:
Seminar hasil
penelitian Basrin Melamba, S.Pd, M.A. (Dosen Tetap Ilmu Sejarah FKIP UNHALU). Rekonstruksi
Emik dan Etik Sebuah Penelusuran Budaya Rumah Adat di Kota Kendari. Seminar
Tgl. 19 Februari 2008 di Hotel Aden Kendari. Bekerjasama dengan Bappeda Kota
Kendari.
sumber:
- kabaena.forumplatinum.com
- id.wikipedia.org
- adicita.com
- misshelmutmut.blogspot.com
- lib.uin-malang.ac.id
sumber lain dan foto:
- egenamaku.wordpress.com
- wolipop.detik.com
bro ada tidak kampung adat suku tolaki ?
BalasHapus