Senin, 17 Juni 2013

Suku Tolaki Sulawesi Tenggara

Suku Tolaki, Sulawesi Tenggara


Suku Tolaki, adalah suku yang berdiam di kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Kolaka dan di kota-kota lain yang ada di Sulawesi Tenggara.

Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari keturunan orang-orang kerajaan ini lah yang menjadi masyarakat suku Tolaki sekarang.
Pada masa sebelum-sebelumnya orang Tolaki merupakan masyarakat yang nomaden, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, hidup dari hasil berburu dan mencari tempat baru untuk membuka ladang.

Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari daratan china, yaitu dari daerah Yunnan yang bermigrasi ke wilayah ini.
Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam (Burnahuddin, 1973:53)

Orang Tolaki pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa Tolaki yang berarti terdampar atau ikut pergi ke langit (Tarimana, 1985).

Orang Tolaki memiliki beberapa budaya seni, yaitu:

            Tarian Tradisional


Tari Mondotambe
  • Tari Mondotambe
  • Tari Lulo
  • Tari Mekindohosi
  • Tari Moana




Musik Tradisional
Musik Bambu


  • Musik Bambu







Upacara adat yang populer dari suku Tolaki adalah Upacara Adat Mosehe, yang merupakan salah satu bentuk upacara ritual yang bertujuan untuk menolak datangnya malapetaka karena telah melakukan pelanggaran baik sengaja maupun tidak sengaja.

Mayoritas suku Tolaki adalah pemeluk agama Islam. Agama Islam berkembang di wilayah ini sejak beberapa abad yang lalu. Masyarakat Tolaki adalah pemeluk agama Islam yang taat.

Orang Tolaki berbicara dalam bahasa Tolaki. Bahasa Tolaki merupakan cabang dari bahasa Austronesia, dan masih berkerabat dengan bahasa Mekongga. Budaya dan bahasa Tolaki memiliki banyak persamaan dengan budaya dan bahasa Mekongga. Kemungkinan antara suku Tolaki dan suku Mekongga masih terdapat kekerabatan dari sejarah asal-usul di masa lalu.

Masyarakat suku Tolaki pada umumnya bertahan hidup dengan berladang dan bersawah. Kebutuhan akan air sangat tinggi, untuk kelangsungan pertanian mereka. Kehadiran sungai Konawe sangat membantu pertanian mereka. Sungai Konawe membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju selat Kendari.
Di luar kegiatan bertani, mereka juga memanfaatkan hasil hutan untuk mencari sagu. Sagu (sinonggi atau papeda) menjadi makanan favorit orang Tolaki selain beras. Selain itu batang sagu juga dijadikan tikar dan daunnya dimanfaatkan untuk atap rumah. Sayangnya sagu ini hanya diperoleh dari alam dan belum dibudidayakan. Selain itu mereka juga memiliki kebiasaan menangkap ayam hutan dengan alat kati

Gambaran Umum Masyarakat Tolaki
Suku Tolaki, merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna. Suku Tolaki mendiami beberapa wilayah Kabupaten dan Kota yakni Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe Utara dan Kabupaten Kolaka dimana kedua Kabupaten induk tersebut berdiam dua ednis Suku Tolaki yang terbesar yakni Suku Tolaki Mekongga dan Suku Tolaki Konawe.
Menurut Tarimana,R (1993) pada mulanya orang Tolaki merupakan migrasi dari Tanah Cina, pada awal pelayaran mereka singgah di Kepulauan Filipina kemudian berlanjut singgah pada pesisir Pulau Sulawesi yakni Manado selanjutnya mereka berpaling menuju pada Kepulauan Halmahera, dari kepulauan inilah kemudian berlanjut memasuki pesisir tenggara Pulau Sulawesi, ada juga beberapa pendapat yang mengatakan behwa Suku Tolaki berasal dari masyarakat Pulau Jawa yang melakukan pelayaran singgah pada Pulau Buton kemudian baru masuk pada pesisir tenggara daratan Pulau Sulawesi.
Kedatangan muasal Suku Tolaki mereka kemudian menyusuri sungai dari arah muara sungai Lasolo dan muara sungai Konawe sampai bertemu pada kedua hulu sungai tersebut yakni disekitar Pegunungan Tangkelaboke. Dari pertemuan tersebut kemudian mereka membentuk suatu perkampungan yang daerahnya dinamai dengan Andolaki, dari Andolaki inilah mereka menyebar pada beberapa daerah di Sulawesi Tenggara ini. 
Pada mula kedatangan muasal masyarakat Tolaki mereka membentuk suatu koloni di sekitar sungai yang berada pada lembah (angalo) yang diangap subur oleh mereka rumah-rumah mereka terpusat pada para prajuri/kesatria (Tamalaki) sebagai pelindung dari ancaman, dari koloni ini membentuk beberapa koloni, sehingga menjadi koloni sedang/kampung (onapo) yang dipimpin oleh kepala suku/orang tua (Tonomotuo) dalam perkembangannya terbentuklah beberapa kampung yang membentuk Distrik/setingkat Kecamatan (O Tobu) yang dikepalai oleh Putobu. Dikarenakan akan pertumbuhan yang semakin pesat maka terbentuklah berbagai distrik-distrik lainnya yang membentuk suatu tatanan wilayah masyarakat Tolaki yang disebut Wonua (setingkat Kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Raja (Mokole)
Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit) hal ini mungkin dikarenakan mereka berasal dari daratan yang tinggi/Pegunungan Tangkelaboke (asumsi). Menurut Tarimana, R (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan; 1973, yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit“ dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut dari langit”.
Pada pemaparan diatas asal-usul budaya dan peradaban Tolaki tampaknya lebih mudah diterima jika dikaitkan dengan pola migrasi noe-litikum. Selain asal-usulnya, hal yang sukar diketahui dengan pasti adalah masa pemerintahan raja-raja, dalam legenda rakyat terdapat dua kerajaan lokal yang besar (Konawe dan Mekongga). Menurut tradisi tutur, raja Sangia Ngginoburu (Konawe) dan raja Sangia Nibandera (Mekongga) diperkirakan memerintah pada saat Islam telah diterima (Tarimana, R; 1993).

Tinjauan Rekonstruksi Arsitektur Tolaki
Ciri dan budaya arsitektur Tolaki masih dalam penelusuran namun dalam perkembangannya ciri dan budaya arsitektur Tolaki terletak pada rumah adat orang Tolaki itu sendiri. Berdasarkan pemaparan Ir. Sachrul Ramadhan. MT (2004) dalam Seminar Penelusuran Arsitektur Tradisional Tolaki membagi pendapat beberapa ahli seperti Cohen, A. P (1985) yang berpendapat bahwa dalam masyarakat tradisional, sering kali dipandang bahwa rumah merupakan wujud microcosmos dari keseluruhan alam semesta. Setiap unsur yang membentuk rumah, melambangkan unsur-unsur tertentu dari alam semesta. Lain halnya dengan Yudohusodo (1991) berpendapat bahwa rumah dipandang tidak sekedar house atau shelter, melainkan rumah dipandang memiliki makna spiritual. Secara lebih terperinci lagi Habraken (1978) menyatakan bahwa rumah merupakan suatu kesatuan sistem yang terdiri dari:
  a. Spacial System, kesatuan sistem yang berkaitan dengan organisasi ruang, mencakup      fungsi ruang, hubungan ruang, hirarki ruang, pola sirkulasi, dan lain sebagainya.
  b. Phisical System, sistem yang berkaitan dengan konstruksi dan penggunaan material.
  c. Stylistic System, Kesatuan elemen bangunan yang mewarnai bentuk, meliputi komponen pembentuk bidang vertikal dan horizontal, perlengkapan bangunan dan ragam hias.
  Kebudayaan merupakan aspirasi masyarakat mengenai hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar, manusia dengan alam gaib yang mencerminkan peningkatan pengetahuan dan peradaban masing-masing masyarakat yang melakoninya hal ini muncul karena adanya keinginan akan penyampaian keberadaan mereka di alam ini.
  Rumah tradisional ataupun rumah adat adalah sebuah bangunan yang dibuat berdasarkan tradisi turun temurun dari suatu daerah memiliki makna spiritual dan juga sebagai simbol yang mencerminkan jati diri penghuninya. Adapun Simbol-simbol yang biasa diungkapkan oleh manusia sebagai ungkapan jati dirinya adalah yaitu :
  a. Simbol  Konstitutif (agama dan kepercayaan)
  b. Simbol Kognitif ( ilmu pengetahuan)
  c. Simbol Evaluatif ( moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan)
  d. Simbol Ekspresif (pengungkapan perasaan)
  Dalam masyarakat tradisional, seringkali dipandang bahwa rumah merupakan wujud microcosmos dari keseluruhan alam semesta. Setiap unsur  yang membentuk rumah, melambangkan unsur-unsur tertentu dari alam semesta. Adapun sebagai fungsi dari rumah tradisional yang biasanya di pergunakan sebagai rumah tempat tinggal bagi masyarakat umum maka pada rumah adat bangunan ini hanya diperguanakan oleh golongan bangsawan dan pemuka adat dan juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan acara adat pada suatu daerah tersebut.
  Dalam Arsitektur masyarakat Tolaki, Komali (rumah/istana raja) dikenal sebagai rumah adat Tolaki atau Laika (rumah tempat orang tinggal). Namun antar rumah raja dan rumah rakyat yang membedakan adalah besar dan luasnya saja dimana rumah raja berukuran 40 depa sementara rumah rakyat minimal 3 depa. Rumah hanya salah satu dari beberapa shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki, yaitu sebagai:
  a. Tempat berlindung sementara (pineworu).
  b. Tempat berlindung yang dipindah-pindahkan (payu).
  c. Dangau (patande).
  d. Lumbung (o ala).
  Dari hasil studi arsitektural dan etnografi, yang menjadi core elemen dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan diperkuat balok lintang (powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran tiang ini terdapat satu tiang utama yang disebut dengan tiang petumbu yang terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini.

  Rumah Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa), tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tinggi tiang dari permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa masuk dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar tiang dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan suatu jumlah yang disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun sirih. Jadi perwujudan ini diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah. Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah 40 tiang merupakan jumlah tiang yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh tokoh tertinggi adat (Mokole).
  Kesembilan tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan symbol dari Siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat dari Siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa tiang petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya diikuti oleh upacara ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna memohon kepada Tuhan agar seisi rumah yang menempati rumah ini dapat terhindar dari berbagai bahaya yang datang dari delapan penjuru mata angin.

  Secara garis besar rumah tradisional Tolaki memanisfestasikan ciri tersendiri dari arsitekturnya, seperti yang dijelaskan berikut ini:

  aKonfigurasi Ruang
  Rumah adat Tolaki berbentuk rumah panggung yang secara vertikal terdiri atas Kolong, Badan Rumah dan Loteng. Dan secara horizontal selalu terdapat ruang Bontono (badan rumah), Tinumba kiri  dan kanan serta Tinumba muka dan belakang. Tinumba kiri dan kanan selalu memanjang sepanjang Bontono. Tinumba muka dan belakang bentuknya variatif namun kedua ruang ini selalu ada. Begitu pula dapur yang selalu ada pada bagian belakang ( rumah Toonomotuo). Jika dianalisis dari dua sisi maka rumah ini selalu tersusun atas tiga bagian ruang, yaitu Muka (tinumba Depan), Tengah (induk rumah) dan belakang (Tinumba belakang dan dapur). Jika dilihat dari arah Utara dan Selatan serta arah Timur dan Barat maka ruang utama berjajar tiga yaitu Tinumba kanan, Botono (induk rumah) dan Tinumba kiri. Organisasi ruang seperti ini serupa dengan konfigurasi “Kalo” . Kalo terdiri atas tiga bagian bentuk, maka interpretasi untuk susunan ruang adalah mengacu pada jumlah susunan Kalo. Namun secara horizontal tidak mengejawantahkan makna Kalo. Karena makna lingkaran adalah makna tertinggi dari dua bentuk yang mendampinginya.

  Jika dianalisisi secara vertikal pada lantai satu rumah, maka bagian induk rumah (botono, tinumba kiri dan kanan) mempunyai nilai ruang yang paling tinggi, karena bagian ini mempunyai lantai yang tertinggi dibanding dengan ruang tinumba depan dan belakang.

  Konvigurasi ruang secara vertikal juga mempunyai hirarki ruang yang sama. Analisis dari fungsinya terkait erat dengan makna yang terkandung dalam Kalo. Dijelaskan oleh Rauf (1993) bahwa Kalo merupakan manifestasi dari bentuk tubuh manusia, yaitu kepala (lingkaran), badan (kain putih) dan kaki (anyaman segi empat). Juga manifestasi dari makrokosmos, yaitu: dunia atas (lingkaran), dunia tengah (kain putih) dan duania bawah (anyaman segi empat).

  
  b. Bentuk Fasad
  Fasad dari depan mempunyai bentuk simetris. Dari kaidah arsitektur bentuk simetris berkaitan dengan bentuk formil, sedangkan asimetris terkait dengan makna dinamis. Makna ini terkait dengan sifat masyarakat Tolaki yang dinamis dan formil. Disamping makna formil dan dinamis, pada konfigurasi bentuk fasad terkandung juga makna Kalo hal ini jika dikaitkan dengan teori Ching. D.K. dalam teori tersebut diungkapkan bahwa unsur segi tiga merupakan bentuk yang menunjukkan kedimasisan dan keformalan. Simbol keagungan dan kesempurnaan diapresiasikan juga pada fasad bagian memanjang yaitu pada bagian bubungan atap dibuat melengkung. Ekspresi demikian adalah ungkapan dari bentuk lingkaran yang menyimbolkan lingkaran pada Kalo. Lingkaran mengungkapkan makna kesucian, dunia atas (lahuene) dan fungsi pada bagian loteng yang dinaungi oleh atap pada rumah ini adalah sebagai tempat anak gadis dan benda-benda berharga atau pusaka dan tempat sesaji. Jadi fungsi ruang yang disakralkan dimanifestasikan dengan atap yang melengkung dan bentuk segitiga.

  c. Ragam Hias
  Pada bagian ujung atap terdapat ragam hias tanduk kerbau. Menurut masyarakat Tolaki kerbau adalah hewan yang berhubungan dengan kemakmuran. Ragam hias ini hanya terdapat pada rumah para kepala kampung (Toonomotuo) atau yang sederajat. Jadi symbol kepala kerbau jika dikaitkan dengan maknanya maka symbol ini masuk dalam kategori symbol ekspresif (ungkapan perasaan).

  Selain tanduk kerbau, pada bagian bubungan atap terdapat dua segitiga yang saling terbalik. Hal ini menyimbolkan bahwa masyarakat Tolaki menjunjung tinggi kekerabatan yang menganut asas kindred dan ambilinleali. Hal ini pula yang sangat sangat mempengaruhi luasan. Rumah tradisional masyarakat Tolaki cenderung tidak menggunakan sekat-sekat pemisah yang nyata guna mendapatkan area yang luas. Karena ruang secara keseluruhan di lantai satu sering digunakan sebagai tempat bersosialisasi antar keluarga.

 Secara garis besar disimpulkan oleh Ir. Sachrul Ramadhan. MT (2004) dalam Seminar dan Lokakarya Arsitektur Tolaki adalah:
Ø 
Bentuk rumah adalah rumah panggung yang memanifestasikan dari simbol kosmis yaitu      lahuene, wutaaha dan puriwuta.
Unsur utama dalam rumah adat Tolaki adalah sembilan jajar tiang, merupakan
Ø  manifestasi dari siwolembatohu, yaitu empat penjuru mataangin, dimana pusatnya adalah      tiang yang pertama kali dibangun saat akan mendirikan rumah bernama petumbu.
Ø  Pengembangan rumah adat berdasarkan akses dari rumah inti (siwolembatohu), dan      penambahan tersebut diberinama tinumba yang terletak di ke-empat sisi rumah inti.
Ø  Masukan dari hasil seminar bahwa rumah adat terdiri atas 40 tiang (diluar dapur) yang      mencerminkan dari 40 sirih dan 40 pinang yang diantar ketika akan berlangsung upacara      perkawinan.
Ø  Bagian bubungan atap :
     1) mempunyai bentuk yang melengkung bukan bidang patahan. Hal ini merupakan cerminan         aktivitas yang ada dibawah atap juga merupakan cerminan dari bentuk lingkaran pada         Kalo yang mempunyai hirarki yang tertinggi diantara semua bentuk yang diwujudkan         dalam konfiguarsi Kalo
     2) Bentuk lengkung adalah simbol dari tanduk kerbau
     3) Bentuk lengkung adopsi dari bentuk atap klenteng,  merupakan kenangan terhadap         leluhur orang Tolaki yang berasal dari cina
Ø  Dapur terpisah dengan rumah induk,  terdapat pada bagian belakang rumah adat dan      dihubungkan dengan selasar.
Ø  Ragam hias yang menjadi ornamentasi adalah tanduk kerbau  pada bubungan, ukiran      kepala pakis pada jurai bagian ujung    rumah.

  Secara geris besar kajian diatas dalam desai Kantor Bupati Konawe Utara dengan pendekatan Arsitektur Tolaki maksudnya adalah bangunan yang digunakan untuk tujuan propessional ataupun administrasi menampilkan ciri budaya arsitektur setempat dengan maksud dapat memberikan jati diri, sebagai aspirasi pemerintah mengenai hubungan pemerintah dengan masyarakat yang mencerminkan peningkatan pelayanan dan pengabdian kepada bangsa dan negara.

Tari Lulo
Tarian Molulo atau Lulo (dari Bahasa Tolaki: Molulo), merupakan salah satu jenis kesenian tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia. Di Kendari (Sulawesi Tenggara – Indonesia) terdapat beberapa suku. Suku Tolaki sebagai salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional , salah satu tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut tarian Lulo.
Pada zaman dulu, tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti : pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong sebagai alat musik pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu “Electone”.

Filosofi Tarian
Adapun filosofi tarian “lulo” adalah persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku Tolaki sebagai ajang perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali persaudaraan. Tarian ini dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan membentuk sebuah lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa saja boleh turut serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan jika anda bukan suku Tolaki atau dari negara lain bisa bergabung dalam tarian ini, yang penting adalah bisa mengikuti gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Posisi tangan ini merupakan simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan.
Yang terpenting dari semua itu adalah arti dari tarian Lulo sendiri, yang mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalani kehidupannya. Seperti filosofi masyarakat Tolaki yang diungkapkan dalam bentuk pepatah samaturu, medulu ronga mepokoaso, yang berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu bersatu, bekerja sama, saling tolong–menolong dan bantu-membantu.

Perkembangan
Tetapi saat ini tarian lulo telah mengalami proses adaptasi terutama dalam hal variasi gerakan dan juga musik yang mengiringinya, jika dahulu masyarakat suku Tolaki menggunakan alat musik pukul yang dikenal dengan sebutan “Gong” saat ini telah menggunakan alat musik elektronik yaitu organ tunggal (electone) begitu juga dengan variasi gerakannya, mulai dari lulo dengan gerakan lambat (santai) sampai gerakan yang cepat.

  
JENIS RUMAH ADAT TOLAKI

Rumah Adat Tolaki, Sulawesi Tenggara
Jenis-jenis tempat berlindung dan tempat tinggal telah banyak mendapat perhatian dari para antropolog. Aneka bentuk perlindungan telah teridentifikasi dalam bentuk literatur antropologi beteckning. Hasil identifiksi tersebut menunjukan bahwa, tempat tinggal/berlindung yang terbuat dari kayu, bambo serat, jerami serta kulit kayu dapat dijumpai disetiap benua. Rumah yang terbuat dari tanah liat dapat dijumpai di daerah-daerah yang sangat kering sekali dengan curah hujan sangat rendah (afrika).
Secara antropologis, bentuk rumah manusia dikelompokan ke dalam tiga jenis, yaitu: rumah yang setengah dibawah tanah (semi-subterranian dwelling), rumah diatas tanah (suface dwelling), rumah diatas tiang (pile dwelling). Dari sudut penggunaannya, tempat berlindung dibagi tiga golongan, yaitua: tadah angin, tenda atau gubuk yang bisa dilepas, dibawa dan dipasang lagi; serta rumah untuk menetap. Rumah untuk menetap memiliki beberapa fungsi sosial. Diantaranya rumah tempat tinggal keluarga inti, tempat tinggal keluarga besar, rumah suci, rumah pemujaan, rumah tempat berkumpul umum serta rumah pertahanan.
Secara universal rumah tinggal dikalangan suku bangsa Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha (Mekongga), yang berarti rumah ada juga istilah yang menunjukan rumag seperti poiaha. Pada masa lalu laika pada orang Tolaki masih dikenal oleh beberapa daerah ini dapat ditelusuri dari toponimi daerah seperti Desa Laikaaha Kecamatan Ranomeeto Konawe Selatan di daerah ini pernah berdiri laika aha atau rumah induk yaitu rumanya penguasa Kerajaan Konawe daerah sebelah barat Tambo tepuliano Oleo Kerajaan Konawe yaitu Sorumba bekas rumah tersebut masih dapat kita saksikan secraa arkeologis. Terdapat juga nama daerah yang menggunakan nama Desa Laikaaha terletal di Kecamatan Uepai Kabupaten Konawe Sekarang hal ini sesuai sumber yang diungkapkan oleh Paul und Frederic Sarasin (1904) yang merupakan rumah kepala adat atau kepala suku (Pu’u tobu). Bentuk tipologi rumah adat juga pernah berdiri di daerah Wawonggole yang dikenal dengan laika sorume. Pada paruh tahun 1904-1960an di daerah ini masih kita jumpai rumah-rumah penguasa seperti laika Kataba salah satunya Kataba Pu’u tobu Tongauna, Kataba Sembe Benua, dll. Rumah tinggal ini ada beberapa jenis yang dapat dijelaskan sbb:

a. Laika Mbu’u” (rumah induk atau rumamh pokok)
Laika mbu’u (di konawe), laika raha (di mekongga/kolaka), artinya rumah pkok. Disebut demikian karena bentuknya lebih besar daripada rumah biasa. Rumah semacam ini didirikan dipinggir kebun atau ladang menjelanga akan dimulainya panen dan biasanya ditempati oleh beberapa keluarga.

b. Rumah di kebun “Laika Landa”
Laikan landa, yakni jenis rumah tinggal yang didirikan ditengah-tengah atau dipinggir kebun dan didiami oleh satu keluarga. Rumah ini ditempati selama proses pengolaan kebun sampai selesai. Setelah selesai panen dan padi sudah selesai disimpan dilumbung padi (o’ala), rumah ini biasanya ditinggalkan jadi laika ini bukan tempat tinggal permanen.

c. Patande
Laika patande adalah jenis rumah yang didirikan titengah-tengah kebun sebagai tempat istirahat. Bentuk konstruksi bangunannya lebih kecil daripada laika landa di atas.

d. Laika kataba
Laika kataba adalah jenis rumah papan. Bahan-bahannya terdiri dari balok dan papan. Rumah ini didirikan dengan memakai sandi atau kode tertentu, jenis rumah ini masih kita temukan di daerah kabupaten konawe di kelurahan lawulo, kecamatan anggaberi yang dibangun oleh Dr. H. Takahasi Rahmani, M.Ph.

e. Rumah penguburan (Laika sorongga atau laika nggoburu)
Laika sorongga atau laika nggoburu yaitu rumah makam bagi raja (mokole/sangia) pada masa laludi kerjaan konawe atau rumah makam bagi keluarga raja, pada rumah tersebut tinggal beberapa rumah tangga budaknya untuk menjaga makam tersebut yang di dalamnya terdapat soronga. Pada masa lalu rumah soronga atau laika nggoburu terdapat didaerah meraka wilayah Kecamatan Lambuya sekarang.

f. Rumah Pengayauan “Laika Mborasaa
Laika Mborasaa, adalaha jenis rumah yang didirikan pada suatu tempat sebagai tempat penjagaan dan sebagai tempat istirahat bagi orang-orang yang telah melaksanakan tugas mengayau (penggal kepala) ke beberpa tempat di daerah sulawesi tenggara. Pada zaman dahulu pra pemerintahan Belanda, rumah ini sering menjadi sasaran para penjahat untuk merampok orang-orang yang hendak lewat istirahat di laika mborasa’a untuk istirahat. Jenis rumah ini hanya satu buah yaitu bertempat di lalondae (kabupaten kolaka sekarang), jenis rumah ini sudah tidak ditemukan lagi.

g. Rumah tempat tinggal Raja “Komali”
Komali adalah jenis laika owose (rumah besar), khusus untuk tempat tinggal Raja. Rumah semacam ini tinggi dan kuat. Bahan-bahannya tetrdiri dari kayu, bambu dan atapnya terbuat dari rumbia. Pada bagian tertentu rumah ini ditemukan ukiran (pinati-pati).

h. Laika wuta
Laika wuta adalah jenis rumah tempat tinggal yang lebih kecil dari laika landa. Bentuk atapnya seperti rumah jengki.

i. Raha Bokeo rumah Raja di daerah Mekongga Kolaka
Raha bokeo (di kolaka), adalah jenis rumah tempat tinggal raja-raja (bokeo) Mekongga di Kolaka, ukurannya besar jumlah tiangnya 70 buah, yang terdiri rumah induk 25 tiang, ruang tambahan (tinumba) atau ancangan 20 tiang (otusa), teras depan (galamba) 10 tiang dan dapur (ambolu) 15 tiang. Sedangkan raha bokeo untuk ukuran sedang jumlah tiangnya 27 buah, yang terdiri dari rumah induk 9 tiang, ruang tambahan (tinumba) 6 tiang, teras depan (galamba) 3 tiang dan dapur 9 tiang.

j. O’ala (tempat penyimpanan padi)
O’ala yaitu jenis rumah penyimpanan. Yang dimaksud rumah penyimpanan adalah segala bangunan yang dipergunakan untuk tempat menyimpan benda-benda keperluan hidup. Bangunan ini antara lain adalah tempat menyimpan padi yang disebut o’ala (ala mbae) berarti lumbung padi.

k. Laika walanda (rumah panjang gaya arsitek Belanda)
Laika walanda adalah jenis rumah panjang. Laika walanda juga dikenal dengan rumamh pesangrahan yaitu rumah yang biasanya digunaka oleh orang-orang Belanda untuk bersantai seperti berdansa ataupun pesta. Pada ruang tengah sepanjang rumah ini ada runag kosong, sedang dibagian kiri dan kanan terdapat ruang istirahat yang lantainya setinggi pinggang dan berpetak-petak. Model rumah ini seperti asrama memanjanng.

L. Laika mbondapo’a
Laika mbondapo’a adalah jenis rumah panggung tempat memanggang kopra. Bentuknya seperti rumamh jengki yang tidak memiliki diding (orini). Lantainya lebih agak tinggi dari dasar tanah. Pada saat pemakaiannya, panggung ini diselubungi daun kelapa sambil memberi pengapian dibawahnya.
Rumah tinggal suku Tolaki adalah rumah panggung yang berbentuk persegi empat panjang. Karena pada masa lalu belum dikenal ukuran meter, maka pembuatan rumah diukur dengan depa, misalnya 5 x 7depa dan seterusnya.
Sumber bacaan:
Seminar hasil penelitian Basrin Melamba, S.Pd, M.A. (Dosen Tetap Ilmu Sejarah FKIP UNHALU). Rekonstruksi Emik dan Etik Sebuah Penelusuran Budaya Rumah Adat di Kota Kendari. Seminar Tgl. 19 Februari 2008 di Hotel Aden Kendari. Bekerjasama dengan Bappeda Kota Kendari.

sumber:
  • kabaena.forumplatinum.com
  • id.wikipedia.org
  • adicita.com
  • misshelmutmut.blogspot.com
  • lib.uin-malang.ac.id
sumber lain dan foto:
  • egenamaku.wordpress.com
  • wolipop.detik.com



Rabu, 22 Mei 2013

Kata-Kata Bijak


Kata-Kata Bijak

"Syukurilah apa yang anda dapatkan baik suka ataupun tidak maka anda sudah menghargai hidup anda sendiri"

"Pekerjaan yang berat apabila kita menikmati pekerjaan tersebut maka pekerjaan akan menjadi mudah dikerjakan dan memuaskan"

"Dalam hidup, ada hal yang datang dengan sendirinya, dan ada hal yang harus diperjuangkan dahulu untuk mendapatkannya."

"Tidak ada satupun di dunia ini, yang bisa di dapat dengan mudah. Kerja keras dan doa adalah cara untuk mempermudahnya."

"Keberhasilan kita di masa depan lebih penting, daripada kepedihan kita di masa lalu."

"Jangan membiarkan masalah bertumpuk sampai akhirnya kamu enggak bisa menyelesaikannya"

"Jangan terlalu berharap apa yang dapat dunia berikan untukmu,Tetapi berikanlah yang terbaik untuk dunia. Niscaya dunia akan menjadi tempat yang lebih indah"

"Memberi adalah wujud perasaan berterima kasih terhadap berkat-berkat yang telah kita terima"

"KASIH ITU MENUTUPI BANYAK KESALAHAN....KASIHILAH MUSUHMU...Bagaimana engkau dapat mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan bila manusia yang terlihat saja tidak dapat kau kasihi"

"Orang yang berpikiran positif, dalam kondisi apapun juga selalu memacu dirinya sendiri ke arah yang lebih baik, tanpa terpengaruh oleh kondisi luar, selalu berusaha melihat dari segi positif, dan menjadikan halangan sebagai tantangan untuk maju"

"Bila cintamu tak kunjung tiba sedangkan umur terus menua dan diri beranggapan bahwa pernikahan harus dijalankan demi mendapat pengakuan, jangan ada keraguan untuk melanjutkan asal tanamkan saling pengertian, karena pernikahan seperti ini akan terhindar dari badai kecemburuan"

"Orang malas tidak akan menangkap buruannya,tetapi orang rajin akan memperoleh harta yg berharga"

"Ketika kamu gembira, kegembiraanmu tidak melampaui hakmu.Ketika kamu berkuasa, kamu tidak mengambil sesuatu yang bukan hakmu.” itulah adab orang beriman"

"Orang sukses memiliki kebiasaan melakukan hal yang tidak suka dilakukan oleh orang malas.Orang sukses itu sendiri sebenarnya juga tidak suka melakukannya,tapi ketidaksukaan mereka di taklukkan oleh kekuatan tujuan mereka."

"You Never Change If You Never Try..do it your own way by your self.Dont give up and be a weak until we die.Try to the best things what you got. BECAUSE YOU ARE NOT A LOOSER !!"


"Apapun yang bisa di bayangkan pikiran manusia, serta di yakini dan diusahakannya.. PASTI AKAN TERCAPAI!!!"

"Tanda akal seseorang itu adalah pekerjaannya, dan tanda ilmu seseorang itu adalah perkataannya."

"Gagal dalam kemuliaan adalah lebih baik, daripada menang dalam kehinaan dan kecurangan."

"Bicaralah ketika engkau merasa tak kunjung damai,biarkan teman''di sampingmu setia untuk mendengar semua keluhanmu itu,karena dunia ini tak mungkin selalu ada keluarga yang mampu mendengar semua rasa yang kau pendamkan dalam benak mu.di samping mu masih ada yang punyai derita batin sama seperti mu"

"Tidak ada satupun sifat yang diberikan Tuhan kepada kita, yang tidak pernah berguna."

"Gagal dalam sebuah pertempuran akan lebih ksatria,daripada gagal sebelum sempat menarik pedang"

"Rasa hormat tidak selalu membawa persahabatan, tapi persahabatan tidak mungkin ada tanpa rasa hormat."

"Gagalnya cinta bukanlah gagalnya hidup. Bahkan banyak orang yg berhasil karena ditempa kekecewaan yg sangat mendalam."

"Jangan bersedih jika kamu tidak di hargai, tapi bersedihlah jika kamu tidak berharga lagi."

"Jangan pernah perlihatkan kesedihan kita di depan umum, karena itu tak akan pernah berguna."

"Seorang ibu tidak pernah memintamu untuk meletakkan dunia di tangannya, namun tutur kata yang halus, perangai yang santun, prilaku yang bertanggung jawab dari seorang anak adalah kebahagiaan buat seorang Ibu"

"Berpikir baik-baik sebelum melangkah atau mengucapkan sesuatu, karena bertindak atau berbicara yang tidak tepat waktu dan sasaran justru akan berakibat buruk. Adakalanya kita harus melangkah, adakalanya kita harus diam"

"Jangan pernah berhenti bermimpi...karena tak ada yang mustahil...selama mau berjuang untuk meraihnya"

"Cinta seorang ibu berada tepat di bawah cinta Tuhan kepada kita. “Ibu tidak pernah lelah untuk menyayangi dan mengasihi kita. Cinta nya lebih mulia daripada cinta seseorang dimanapun di dunia ini. I’m sorry Mom! I never meant to hurt you! I never meant to make you cry."

"Tidak menyesali ataupun dendam/marah pada hal-hal yang sudah berlalu, dan tidak menaruh rasa cemas yang berlebihan akan masa mendatang, itulah ketenangan sejati"

"Salah satu hal yang tidak dapat di daur ulang adalah waktu yang telah terbuang. Jadi pastikanlah kamu menggunakan setiap waktumu dengan baik."

"Jangan engkau katakan setiap apa yang engkau ketahui, tapi ketahuilah setiap apa yang engkau katakan."

"Membuang waktu mu untuk melakukan hal yang tidak berguna dapat menghancurkan masa depanmu"

"Semoga bermanfaat"